OUT BOUND CERIA

Iniah kegiatan selepas ujian, merefresh otak.

Menjalin Keakraban

Dengan adanya hubungan antara Pendidik dengan anak didik yang akrab diharapkan adanya rasa keterikatan sehingga pembelajaran lebih efektif

Melatih Kerjasama

Dengan adanya game-game seru yang membutuhkan kesolitan tim, diharapkan bisa melatih kekompakkan serta kerja sama antar sesama anggota

Serunya berpetualang

aaaaaaaaaaaaaaaaaaw, berpetualang yang mengasyikkan

Asyiiiiiiik

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa, asyiiiiiiiiiiiik

Selasa, 04 Maret 2014

Informasi PPDB 2014 - 2015


Menuju Sekolah Berstandar Dunia Akherat
MITQ AL MANAR
Lebih Cerdas dengan Al Qur'an

Visi dan Misi

Syarat Pendaftaran
* Membayar uang pendaftaran Rp 50.000,-
* Berusia 6 Tahun untuk kelas 1
* Mengisi Formulir pendaftaran
* Menyerahkan FC Ijazah TK / RA
* Menyerahkan FC Akta Kelahiran / Surat Kenal Lahir
* Menyerahkan Photo 3 x 4 sebanyak 2 Lembar

Waktu Pendaftaran
Gelombang 1 : 10 Maret - 16 April 2014
Gelombang 2 : 1 Mei - 23 Mei 2014
*Gelombang ke-2 ditutup apabila kuota sudah terpenuhi

Pendaftaran Online Klik di sini

Informasi lebih lengkap
Bilal, Lc, S.Pd.I : 085 641 278 534

Rabu, 08 Mei 2013

STRUKTUR ORGANISASI MITQ AL MANAR

KEMENAG KLATEN
YAYASAN AL MANAR KLATEN

Ketua Komite :
Agus Sunaryo

Kepala Sekolah :
Amirul Hikam, S.Pd.I

Kepala Tata  Usaha :
Sugiono, A.Md

Waka Kurikulum : 
Mahfud Heru Fatoni, S.Pd.I

Waka Kesiswaan :
Dirman, S.Pd.I

Waka Sarpras :
Zubaidi, A.Ma

Waka UKS :
Arif, S.Pd.I

Waka Perpustakaan :
Rosmarina Kacong, A.Md

Wali Kelas 1 / Guru Kelas :
Wagini, A.Ma
Siti Maisaroh, A.Ma

Wali Kelas 2 / Guru Kelas :
Ihsan Aswadi, A.Ma
Agus Triyono, A.Ma

Wali Kelas 3 :
Mahfud Heru Fatoni, S.Pd.I

Wali Kelas 4 :
Rosmarina Kacong, A.Md

Wali Kelas 5 :
Zubaidi, A.Ma

Wali Kelas 6 :
Dirman, S.Pd.I


Senin, 25 Februari 2013

Batik Al Manar Baru

Batik Al Manar Baru filetype.cdr bisa di download di sini

Kamis, 03 Januari 2013

Pendaftaran MITQ Al Manar TA 2013 / 2014

MITQ AL MANAR menerima pendaftaran anak didik baru TA 2013/2014. Untuk pendaftaran silahkan isi formulir pendaftaran di sini

Jumat, 16 November 2012

Mereka Rindu Belai Kasih Kita


Tubuhnya gemuk, seringkali marah-marah. Tak pernah menyangka awalnya bahwa ummi abinya tertarbiyah, karena melihat sikapnya yang tak pernah terlihat disiplin, saya pikir anak ini lahir di keluarga (maaf jika saya sebut) biasa.
Bukan apa, sampai satu kali terbesit ragu, benarkah kedua orang tuanya siap memiliki anak, hingga ia terbiarkan seakan liar tanpa aturan.
Ust, dia merebut makanan aku…
Ust, Si Ini nangis di dorong dia…


***
Pagi tadi dia menangis. Seperti kebiasaannya saat menangis, meraung dan mengamuk. Padahal lima menit sebelumnya, saya asyik memandanginya menggerakkan tubuh untuk senam, berlenggak-lenggok menirukan gerakan bebek. Sampai terpingkal, dan di tegur orang karena terlalu asyik tertawa.
Namun, tentu saja setelahnya, saya harus mendiamkan dia yang menangis karena terjungkal di dorong temannya yang sebelumnya di dorong dia.
Mau marah, tapi selalu saja luluh. Melihat tubuhnya yang gempal, ingin sekali memanggilnya “ndut-ndut”. Seandainya hubungan kami bukan dalam posisi formal dunia pendidikan, tentu panggilan itu yang akan sering saya sebut.
Di siang hari, di berguling sepanjang aula, berbolak dan berbalik, berguling-guling, nampak ingin bergulung, menikmati dunianya sendiri. Satu hal lucu saat dia mendapatkan dua kotak kacang yang membuatnya menangis raung. Saat itu kelasnya mengadakan tukar kado, incaran dia adalah sebuah bey blade, padahal modalnya hanyalah sepasang kaos kaki. Itupun dengan ia dapatkan dari uang dua ribu rupiah miliknya, ditambah empat ribu rupiah meminta pada teman-temannya, serta tambahan korting dua ribu rupiah dari penjual kaos kaki. Tapi apanyana, dasar nasib dia hanya dapatkan dua kotak kacang.
Akhirnya dia menangis dan tak mau pulang, mengusak di lantai koridor, membuat saya harus mengangkatnya. Belum lagi bila ingat sikap joroknya dengan (maaf) mengambil kotoran hidung dan ditempelkannya di celana. Ya Allah, jika saja ingat itu, maka saya akan sangat segan mengangkatnya dan menempelkan diri padanya.
***
Selalu tertempeli label “anak nakal” menjadikannya bercerita bahwa dirinya adalah matahari yang panas dan menyengat, mengganggu dan menyiksa orang lain, dalam pertemuan konseling saya dengannya.
Sikapnya yang tidak peduli, tangan jahilnya, teriakannya, dorongannya, sikap joroknya, benar-benar tidak disiplin, pura-pura lupa. Ah, kalau saja sabar itu berbatas, tentu saya akan memilih berteriak “dasar anak nakal!”
Tapi seperti di awal saya katakan, hati saya selalu luluh, apalagi saat memandang matanya. Hati saya ingin mengatakan, “dia hanyalah korban kesibukan.” Namun, mungkin itulah kekalahan. Karena pendisiplinan tetap saja butuh ketegasan.
***
Bukankah seorang anak adalah anugerah? Berapa banyak pasangan yang ingin memiliki anak. Namun, banyak juga pasangan yang telah memilikinya tanpa sadar malah menyia-nyiakan keberadaannya. Tidak sedikit anak yang merasakan ketidaknyamanan karena memiliki ibu yang sangat sibuk bekerja dan ayah yang senin hingga Jum’at berangkat saat mereka belum bangun dan pulang saat mereka akan tidur, pun hari libur yang diisi oleh waktu istirahat orang tua, yang tentu saja membuat mereka tidak ke mana-mana.
Kita semua memahami bahwa pekerjaan dan kesibukan yang dipilih orang tua memang dilakukan untuk menunjang keamanan perekonomian keluarga. Paling mendasar agar anak-anak bisa sekolah. Pun sebenarnya bisa menjadi sebuah aktualisasi diri bagi seseorang yang masih terus berada dalam tahap perkembangan, ketika memiliki karir dan mengembangkan potensinya. Tapi, bukankah anak adalah amanah utama? Dan yang harus mengalah adalah mereka yang telah dewasa.
Kekecewaan saya kembali merebak ketika dalam pertemuan dengan orang tua dia, tersebut kata “trauma”. Ingin sekali saya katakan “halloooo… apakah dalam membahagiakan anak Anda, pantas terucap kata trauma?” tentu saja saya memilih tidak mengatakannya, karena saya masih menjunjung etika dan perasaan mereka sebagai orang tua.
Namun,  juga menjadi sebuah perih, saat para orang tua seakan menyerahkan mahar berupa uang SPP per bulannya dengan seakan menyebutkan ijab: “saya serahkan pendidikan anak saya dengan mahar SPP sekian ratus ribu rupiah, di bayar tuuunnnnaaaai…”
Ya, saya tahu mendidik anak itu berat… maka itulah surga berada di bawah telapak kaki ibu, dan seorang ayah pun di janjikan surga jika berhasil menjaga anak-anaknya. Namun anak tetaplah anak, tanggungjawab, yang akan menjadi bahan pertanyaan di akhirat. Yang jika saja mereka shalih, akan menjadi bekal untuk tiap kita memasuki surga milik Allah. Tidakkah kita tanamkan itu betul-betul?
Siapa pun, entah mereka yang biasa saja, apalagi yang telah menisbatkan diri menjadi seorang yang tertarbiyah, tak pernah salah sekali-kali membuka kembali buku mengenai orang tua atau pengasuhan anak, tak salah mencari hadits-hadits tentang bagaimana Rasulullah mendidik putra putrinya. Tak pernah salah meluangkan waktu untuk mereka yang seharusnya menjadi yang tercinta setelah Tuhan kita. Bisa jadi mereka adalah pintu surga, yang sekarang (mungkin) sedang tersia-sia.
***
Abi… Ummi… kami di sini, menunggu kasih sayangmu, menunggu waktu-waktu yang habis karena bersama denganmu, menunggu dibelai oleh mu saat akan tidur, diceritakan olehmu tentang dunia, walau mungkin hanya tentang duniamu atau dunia keluarga kecil kita. Abi Ummi aku anakmu, yang selalu rindu akan belai kasih sayagmu.



Kamis, 04 Oktober 2012

Sebut Dia " Anak Hebat "

sering dengar kalimat ini ?
“Anak saya ini nakal sekali”
“Kamu itu memang anak nakal”
"Kamu anak kurang ajar"

Kalimat itu sering kita dengarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sangat sering kita mendengar orang tua menyebut anaknya dengan istilah nakal, padahal kadang maksudnya sekadar mengingatkan anak agar tidak nakal. Namun apabila anak secara terus menerus mendapatkan sebutan nakal, maka akan berpengaruh pada dirinya.

Predikat-predikat buruk memang cenderung memiliki dampak yang buruk pula. Nakal adalah predikat yang tak diinginkan oleh orang tua, bahkan oleh si anak sendiri. Namun, seringkali lingkungan telah memberikan predikat itu kepada si anak: kamu anak nakal, kamu anak kurang ajar, kamu anak susah diatur, dan sebagainya. Akibatnya, si anak merasa divonis.

Hindari Sebutan Nakal

Jika tuduhan nakal itu diberikan berulang-ulang oleh banyak orang, akan menjadikan anak yakin bahwa ia memang nakal. Bagaimanapun nakalnya si anak, pada mulanya tuduhan itu tidak menyenangkan bagi dirinya. Apalagi, jika sudah sampai menjadi bahan tertawaan, cemoohan, dan ejekan, akan sangat menggores relung hatinya yang paling dalam. Hatinya luka. Ia akan berusaha melawan tuduhan itu, namun justru dengan tindak kenakalannya yang lebih lanjut.

Hendaknya orang tua menyadari bahwa mengingatkan kesalahan anak tidak identik dengan memberikan predikat “nakal” kepadanya. Nakal itu —di telinga siapa pun yang masih waras— senantiasa berkesan negatif. Siapa tahu, anak menjadi nakal justru lantaran diberi predikat “nakal” oleh orang tua atau lingkungannya!

Mengingatkan kesalahan anak hendaknya dengan bijak dan kasih sayang. Bagaimanapun, mereka masih kecil. Sangat mungkin melaku­kan kesalahan karena ketidaktahuan, atau karena sebab-sebab yang lain. Namun, apa pun bentuk kenakalan anak, biasanya ada penyebab yang bisa dilacak sebagai sebuah bahan evaluasi diri bagi para pendidik dan orang tua.

Banyak kisah tentang anak-anak kecil yang cacat atau meninggal di tangan orang tuanya sendiri. Cara-cara kekerasan yang dipakai untuk menanggulangi kenakalan anak seringkali tidak tepat. Watak anak sebenarnya lemah dan bahkan lembut. Mereka tak suka pada kekerasan. Jika disuruh memilih antara punya bapak yang galak atau yang penyabar lagi penyayang, tentu mereka akan memilih tipe kedua. Artinya, hendaknya orang tua berpikiran “tua” dalam mendidik anak-anaknya, agar tidak salah dalam mengambil langkah.

Sekali lagi, jangan cepat memberi predikat negatif. Hal itu akan membawa dampak psikologis yang traumatik bagi anak. Belum tentu anak yang sulit diatur itu nakal, bisa jadi justru itulah tanda-tanda kecerdasan dan kelebihannya dibandingkan anak lain. Hanya saja, orang tua biasanya tidak sabar dengan kondisi ini.
Ungkapan bijak Dorothy Law Nolte dalam syair Children Learn What They Live berikut bisa dijadikan sebagai bahan perenungan,

Bila anak sering dikritik, ia belajar mengumpat
Bila anak sering dikasari, ia belajar berkelahi
Bila anak sering diejek, ia belajar menjadi pemalu
Bila anak sering dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Bila anak sering dimaklumi, ia belajar menjadi sabar
Bila anak sering disemangati, ia belajar menghargai
Bila anak mendapatkan haknya, ia belajar bertindak adil
Bila anak merasa aman, ia belajar percaya
Bila anak mendapat pengakuan, ia belajar menyukai dirinya
Bila anak diterima dan diakrabi, ia akan menemukan cinta.

Cara Pandang Positif

Hendaknya orang tua selalu memiliki cara pandang positif terhadap anak. Jika anak sulit diatur, maka ia berpikir bahwa anaknya kelebihan energi potensial yang belum tersalurkan. Maka orang tua berusaha untuk memberikan saluran bagi energi potensial anaknya yang melimpah ruah itu, dengan berbagai kegiatan yang positif. Selama ini anaknya belum mendapatkan alternatif kegiatan yang memadai untuk menyalurkan berbagai potensinya.

Dengan cara pandang positif seperti itu, orang tua tidak akan emosional dalam menghadapi ketidaktertiban anak. Orang tua akan cenderung introspeksi dalam dirinya, bukan sekadar menyalahkan anak dan memberikan klaim negatif seperti kata nakal. Orang tua akan lebih lembut dalam berinteraksi dengan anak-anak, dan berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik. Bukan dengan kemarahan, bukan dengan kata-kata kasar, bukan dengan pemberian predikat nakal.

“Kamu anak baik dan shalih. Tolong lebih mendengar pesan ibu ya Nak”, ungkapan ini sangat indah dan positif.

“Bapak bangga punya anak kamu. Banyak potensi kamu miliki. Jangan ulangi lagi perbuatanmu ini ya Nak”, ungkap seorang bapak ketika ketahuan anaknya bolos sekolah.

Semoga kita mampu menjadi orang tua yang bijak dalam membimbing, mendidik dan mengarahkan tumbuh kembang anak-anak kita. Semoga Bermanfaat.

Selasa, 12 Juni 2012

ANTARA RUMPUT DAN CEMARA

Satu ketika, seseorang pernah di tanya tentang dua pilihan, ringan, tidak berat, namun sangat bermakna. “Seandainya hanya ada dua pilihan dalam hidup ini.,” begitu pertanyaan ini berawal, “…antara menjadi cemara dan rumput, mana yang akan kamu pilih..?” Saudaraku, sebelum melanjutkan membaca, coba renungkan dalam hati, lalu mantapkan, akan menjadi apa ketika Antum di berikan pertanyaan ini, beserta alasannya.
Nah, apa yang Antum pilih..? Silakan jawab sebelum melanjutkan, sebutkan beserta alasan yang Antum pikirkan. Terserah mau di keraskan, atau sekadar menjawab dalam hati. Silakan…
Apa yang Antum pilih..? Apapun yang Antum pilih, coba simak berikut ini.
Seandainya Antum memilih cemara, alasan apakah yang Antum kemukakan..? Karena cemara itu indah..? Agar setiap orang dapat merasakan keindahan alam saat melihat Antum..? Agar dapat terlihat dari jauh, dan menenteramkan hati setiap orang yang melihatnya..?
Saudaraku, apalah artinya kita sedap di pandang orang, menyejukkan di hati orang, namun hancur dan tumbang ketika badai menghadang..? Saudaraku, begitulah cemara. Ketinggiannya terkadang malah membunuh dirinya sendiri. Posisinya malah membahayakan dirinya sendiri. Memang ia menyejukkan, tetapi, bukankah kalau kita menyejukkan orang lain, tapi tidak menyejukkan dirinya sendiri, apalah maknanya..?
Meskipun begitu, apakah salah bagi seorang manusia berada di posisi tinggi? Sebenarnya, tidak. Tidak ada yang melarang seseorang berada di posisi atas. Tidak. Bahkan hakikat menyebutkan, kehidupan seseorang itu seperti roda. Terkadang posisi kita berada di atas, dan terkadang berada di bawah. Namun saudaraku, berada di posisi tinggi menjadi salah ketika kita melupakan bahwa ada yang di bawah. Berada di posisi tinggi menjadi salah ketika kita melupakan dulu kita pernah hanya sebuah batang lemah tak berdaya. Ianya menjadi salah ketika, kita melupakan siapa kita sebenarnya.
Menjadi tinggi, besar, dan indah tak akan berarti ketika di terpa badai, kita hancur berantakan. Patah. Lalu membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh kembali menjadi seindah sebelumnya. Ya, layaknya cemara. Memang indah, namun mudah patah. Mengapa tak mencoba menjadi rumput. Atau sekadar melihatnya saja. Merenunginya, juga mengambil banyak hikmah darinya.
Rumput berada di bawah, jauh dari pucuk tinggi si cemara. Rumput selalu terinjak. Seakan keberadaannya antara ada dan tiada. Coba, adakah yang menyesal telah menginjak rumput..? Tidak ada saya kira. Tapi kalau mematahkan cemara tetangga, minta maafnya bukan main.
Namun saudaraku, bukankah rumput yang kita injak pagi hari, sudah berdiri tegak malam nanti..? Begitu cepat ia bangkit. Dan, bukankah ketika badai, topan, puting beliung, rerumputan hanya ikut bergoyang menimbulkan harmoni keindahan dengan sang badai..? Rusak posisi mereka, namun dengan cepat kembali seperti sedia kala.
Bukankah orang yang ikhlas selalu malu untuk di kenal..? Merendah seperti si rumput, yang enggan mempertontonkan dirinya. Dia hanya tahu, hanya yakin, biarlah Allah yang membalas segala amalan, tak perlu ada orang lain yang melihat indahnya amalan. Bukankah seorang muslim adalah seorang yang harus bisa bangkit setelah jatuhnya..? Karena mereka memiliki Allah Yang Maha Besar untuk mengatasi setiap masalah. Seperti rumput seharusnya kita, tidak menganggap masalah itu sebagai sesuatu yang menghalangi jalan. Tetapi, cobalah menari bersamanya, dan tersenyumlah, lalu bisikkan dengan mesra padanya, “masalah, aku tak peduli seberapa pun besarnya dirimu, aku hanya tahu, ada Allah bersamaku…”.
Namun ternyata, terlalu banyak orang malu jadi rumput, sehingga memaksa diri menjadi cemara yang rapuh…
Lalu… mengapa malu menjadi rumput…?
Muslim sejati harus siap menjulang tinggi dengan segala konsekwensi yang ada , juga harus siap rendah dengan segala konsekwensinya. Dan yang pasti dimanapun posisi kita, peng-optimalan kemampuan adalah sebuah keharusan.