Selasa, 12 Juni 2012

ANTARA RUMPUT DAN CEMARA

Satu ketika, seseorang pernah di tanya tentang dua pilihan, ringan, tidak berat, namun sangat bermakna. “Seandainya hanya ada dua pilihan dalam hidup ini.,” begitu pertanyaan ini berawal, “…antara menjadi cemara dan rumput, mana yang akan kamu pilih..?” Saudaraku, sebelum melanjutkan membaca, coba renungkan dalam hati, lalu mantapkan, akan menjadi apa ketika Antum di berikan pertanyaan ini, beserta alasannya.
Nah, apa yang Antum pilih..? Silakan jawab sebelum melanjutkan, sebutkan beserta alasan yang Antum pikirkan. Terserah mau di keraskan, atau sekadar menjawab dalam hati. Silakan…
Apa yang Antum pilih..? Apapun yang Antum pilih, coba simak berikut ini.
Seandainya Antum memilih cemara, alasan apakah yang Antum kemukakan..? Karena cemara itu indah..? Agar setiap orang dapat merasakan keindahan alam saat melihat Antum..? Agar dapat terlihat dari jauh, dan menenteramkan hati setiap orang yang melihatnya..?
Saudaraku, apalah artinya kita sedap di pandang orang, menyejukkan di hati orang, namun hancur dan tumbang ketika badai menghadang..? Saudaraku, begitulah cemara. Ketinggiannya terkadang malah membunuh dirinya sendiri. Posisinya malah membahayakan dirinya sendiri. Memang ia menyejukkan, tetapi, bukankah kalau kita menyejukkan orang lain, tapi tidak menyejukkan dirinya sendiri, apalah maknanya..?
Meskipun begitu, apakah salah bagi seorang manusia berada di posisi tinggi? Sebenarnya, tidak. Tidak ada yang melarang seseorang berada di posisi atas. Tidak. Bahkan hakikat menyebutkan, kehidupan seseorang itu seperti roda. Terkadang posisi kita berada di atas, dan terkadang berada di bawah. Namun saudaraku, berada di posisi tinggi menjadi salah ketika kita melupakan bahwa ada yang di bawah. Berada di posisi tinggi menjadi salah ketika kita melupakan dulu kita pernah hanya sebuah batang lemah tak berdaya. Ianya menjadi salah ketika, kita melupakan siapa kita sebenarnya.
Menjadi tinggi, besar, dan indah tak akan berarti ketika di terpa badai, kita hancur berantakan. Patah. Lalu membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh kembali menjadi seindah sebelumnya. Ya, layaknya cemara. Memang indah, namun mudah patah. Mengapa tak mencoba menjadi rumput. Atau sekadar melihatnya saja. Merenunginya, juga mengambil banyak hikmah darinya.
Rumput berada di bawah, jauh dari pucuk tinggi si cemara. Rumput selalu terinjak. Seakan keberadaannya antara ada dan tiada. Coba, adakah yang menyesal telah menginjak rumput..? Tidak ada saya kira. Tapi kalau mematahkan cemara tetangga, minta maafnya bukan main.
Namun saudaraku, bukankah rumput yang kita injak pagi hari, sudah berdiri tegak malam nanti..? Begitu cepat ia bangkit. Dan, bukankah ketika badai, topan, puting beliung, rerumputan hanya ikut bergoyang menimbulkan harmoni keindahan dengan sang badai..? Rusak posisi mereka, namun dengan cepat kembali seperti sedia kala.
Bukankah orang yang ikhlas selalu malu untuk di kenal..? Merendah seperti si rumput, yang enggan mempertontonkan dirinya. Dia hanya tahu, hanya yakin, biarlah Allah yang membalas segala amalan, tak perlu ada orang lain yang melihat indahnya amalan. Bukankah seorang muslim adalah seorang yang harus bisa bangkit setelah jatuhnya..? Karena mereka memiliki Allah Yang Maha Besar untuk mengatasi setiap masalah. Seperti rumput seharusnya kita, tidak menganggap masalah itu sebagai sesuatu yang menghalangi jalan. Tetapi, cobalah menari bersamanya, dan tersenyumlah, lalu bisikkan dengan mesra padanya, “masalah, aku tak peduli seberapa pun besarnya dirimu, aku hanya tahu, ada Allah bersamaku…”.
Namun ternyata, terlalu banyak orang malu jadi rumput, sehingga memaksa diri menjadi cemara yang rapuh…
Lalu… mengapa malu menjadi rumput…?
Muslim sejati harus siap menjulang tinggi dengan segala konsekwensi yang ada , juga harus siap rendah dengan segala konsekwensinya. Dan yang pasti dimanapun posisi kita, peng-optimalan kemampuan adalah sebuah keharusan.

0 komentar:

Posting Komentar